Bienvenue sur mon blog..
Merci pour visiter..


Sabtu, 10 Oktober 2009

Chapter 1 : LAPSE

"The changes were happened... So, what will you do?"

Aku tak pernah membayangkan suatu perubahan besar seperti ini terjadi pada diriku. Perubahan yang begitu besar ini, yang telah memusnahkan semua impianku secara perlahan-lahan dan membawaku kepada kenyataan terburuk sepanjang hidupku yang tak berujung.

Kini aku dihadapkan pada kenyataan hidup yang begitu pahit dan hampa. Walaupun aku terasa menikmatinya, tetapi sebenarnya aku tidak. Aku tidak pernah.

***

Aku memulai hariku dengan sesuatu yang membuatku terhenyak dan shock seketika.

Aku terjaga dari tidur malam panjangku hari ini pagi-pagi sekali—well, meski tidak begitu pagi, namun kukatakan demikian karena hari ini aku bangun jauh lebih baik daripada biasanya, katakan saja pagi ini baru menunjukkan pukul setengah lima subuh sementara biasanya aku baru terjaga sekitar pukul enam lewat. Aku merasa ada sedikit perbedaan pada diriku. Aku tak tahu apa itu, tetapi aku merasakannya dan hal itu mendorongku untuk berbuat sesuatu. Aku pergi ke kamar mandi tanpa berpikir panjang lagi.

Aku menjejakkan langkahku di ambang pintu kamar mandi di sudut kiri ruang kamarku beberapa meter jaraknya dari tempat tidur. Aku berdiri sebentar di atas keset tebal dari kain perca yang unik, kemudian membuka pintu, menyalakan lampu, dan langsung menuju toiletnya tanpa memperhatikan cermin lebar di atas wastafel yang menunjukkan sesuatu hal yang ganjil.

Kamar mandi dalam kamarku ini besarnya tidak tanggung-tanggung. Begitupula dengan ukuran kamarku yang cukup untuk tidur tanpa tempat tidur—lebih tepatnya hanya dengan kantung tidur—hingga seratus orang tanpa berdesak-desakan. Jika hanya menggunakan perhitungan asal-asalan, kamar mandiku besarnya sekitar setengah dari besar kamarku. Sebenarnya terlalu berlebihan kamar ini diperuntukkan untukku. Dahulu kamar ini adalah ruang duduk lantai dua, maka tidaklah mengherankan jika kamar mandinya sebesar itu. Keluargaku merupakan keluarga terpandang dan senang mengundang orang untuk mengadakan reuni, pesta, acara bakti sosial, ataupun sebagainya. Di rumah ini saja ruang duduk ada di setiap lantainya—untuk tidak membuat kalian bingung, rumah ini terdiri atas tiga lantai—dengan ukuran yang berbeda-beda, dan yang ukurannya paling kecil adalah yang disulap menjadi kamarku ini. Sejarah lebih lanjutnya kupikir bisa diceritakan nanti.

Lebih detailnya lagi, kamar mandi ini terdiri atas tiga ruangan yang lebih kecil—dulunya empat—yang salah satunya merupakan ruangan kaca untuk fasilitas shower, yang lainnya lagi untuk toilet, dan satu lagi untuk bathtub. Ruangan shower berada di pojok depan sebelah kanan apabila dilihat dari pintu yang memisahkan kamar mandi dengan kamar tidur—sebenarnya kurang tepat apabila dikatakan kamar tidur, kurasa—dan ruangan toilet berada tapat di sampingnya. Di dekat pintu masuk, ruangan bathtub tidak berpintu maupun memiliki tembok di sisi depannya dan hanya ditutup menggunakan tirai katun. Sementara itu, di depan ketiga ruangan tersebut terdapat cermin lebar yang menutupi sepertiga bagian tembok dan tiga buah wastafel mewah yang dipasang pada meja dari batu marmer.

Cukup untuk detailnya dan hhhuff! Aku mengerti sekarang. Aku keluar dari kamar mandi dan aku sadar apa yang terjadi pada diriku selanjutnya—lebih tepatnya hal ini terjadi ketika aku menghadap pintu masuk dan berada di depan ruangan kaca. Aku menoleh sebentar ke cermin lebar di samping kananku. Aku terbelalak dan membalik badan, tak sanggup berucap satu patah katapun, apalagi berteriak—aku yakin kalian pun akan memiliki reaksi demikian apabila melihat sesuatu yang mengerikan seperti ini. Tak ada sama sekali bayangan tubuhku di cermin. Tak ada.

Mengerikan sekali ketika kita melihat bayangan baju kita melayang dan membentuk tanpa ada yang memegangi atau memakainya—kupikir bahasa ini agak sulit dimengerti, maka bayangkan saja apa yang dapat kalian bayangkan, intinya piama yang kupakai sedang melayang dalam bayangan di cermin. Wajah serta bagian tubuhku yang lain sama sekali tak terbentuk dalam bayangan di cermin. Di sana hanya ada bayangan piama yang kukenakan. Aku mendekatkan diri pada cermin dan mengamatinya baik-baik kalau-kalau ini tidaklah nyata dan hanyalah sekedar halusinasi. Aku masih belum yakin ini nyata, aku memejamkan mata sejenak kemudian membukanya. Tak ada yang berubah. Aku menggosok-gosok kedua mataku. Tetap sama, tak ada yang berubah. Aku coba menampar dan mencubit pipiku, kalau-kalau ini hanyalah mimpi—meski kuakui, tamparan dan cubitan ini cukup menyakitkan, bahkan apabila aku bukan manusia. Aku sadar aku tak terbangun dari tidur. Ini nyata. Aku meyakinkannya pada diriku sendiri. Ini nyata,
Alice.

Ini nyata! Ini terlihat nyata sekali dengan betapa besarnya cermin di hadapanku. Aku tersentak dan mundur dengan cepat, kemudian bersandar dan merosot pada dinding kaca di belakangku. Kedua tanganku membentang meraba dinding kaca, kemudian serentak memeluk kaki ketika aku terduduk. Kali ini, aku dapat berteriak, meskipun dengan suara tertahan. Aku merasakan air mata menggenang di pelupuk mataku.

Aku menyadari mungkin tak akan ada yang mendengar teriakanku di rumah sebesar ini, apalagi kamar mandi ini dibangun sebagai ruangan yang cukup kedap suara. Namun pikiranku meyakinkan bahwa mungkin saudaraku yang tinggal di kamar sebelah akan mendengar.

Dan benar saja, mereka datang tak lama kemudian. Dua orang saudaraku rupanya mendengar teriakanku dan segera datang menghampiri. Kuceritakan sedikit, di keluarga ini, aku mempunyai tiga saudara, dua laki-laki dan satu perempuan. Mereka itu Will, Nick, dan Cassandra. Ketiganya kecuali Nick memiliki kamarnya masing-masing tepat di kanan dan kiri kamarku.

”Alice!!” Will, yang membuka pintu kamar mandi dan berada di ambang pintu sekarang, berteriak dengan sangat paniknya. Dia membuat tameng di pintu dengan setengah badannya dan sebelah tangannya menjaga agar pintu tetap terbuka. Sementara Cassandra, langsung saja masuk menerobos tameng yang dibuat Will tanpa sengaja dengan tubuhnya di pintu. Will terdorong masuk.

”Alice, kami dengar kamu berteriak, ada apa?” Cassandra duduk di sampingku dengan kedua lututnya.

Aku tak kuasa menjawab. Aku justru panik.

Aku mengerti apa yang barusan aku lakukan. Aku takut mereka akan menemukanku tanpa bayangan di cermin apabila ada sebagian tubuhku yang terjangkau oleh cermin.

Aku bernapas lega, aku tak terjangkau oleh cermin.

”Alice?” Will sudah berada tepat di depanku, berjongkok. Aku kini tambah lega, dengan hadirnya Will di depanku, karena itu berarti aku semakin tak terjangkau oleh cermin.

Kurasa cukup dengan gelengan kepala yang tak beraturan dan berulang-ulang penuh ketakutan. Will dan Cassandra membimbingku berdiri.

Aku tak mau. Aku tak mau berdiri, karena itu berarti aku akan terjangkau oleh cermin. Tidak.

Will memaksa. Dia membimbingku berdiri dan memegangi bahuku sementara aku mulai berjalan perlahan-lahan menuju kamar. Awalnya aku sedikit khawatir, namun ketika aku menyadari bahwa mereka sama sekali tidak memperhatikan cermin, rasanya seperti ada yang mengambil dan membuang sebagian bebanku.

”Alice, kami harap kau tak apa” Cassandra mendudukkanku di tempat tidur.

Will mengikutiku duduk di tempat tidur sementara Cassandra duduk berlutut di depanku. ”Alice, katakan pada kami, kau tidak apa-apa kan? Aku berharap bahwa kamu hanya ngelindur tadi. Tapi...” Will mengerutkan kening dan memandangiku heran. ”Hei, sepertinya kau sudah bisa bangun awal pagi ini” Ia meninggikan suaranya pertanda heran dan sedikit surprise. Tetapi menurutku, itu lebih seperti godaan yang membuatku agak sedikit tenang.

Will mendekatkan dirinya ke arahku dan memelukku.

”Aku tak apa. Percayalah, kau benar Will. Aku hanya ngelindur” kata-kataku meluncur begitu saja dan aku lega. Kedua tanganku mengepal di depan dada.

”Syukurlah, kami kira kau kenapa. Alice, hari ini kami dan Nick berencana untuk berangkat lebih awal dan sekali lagi aku bersyukur karena kau bangun lebih awal. Sehingga kita bisa berangkat bersama-sama tanpa bersusah-susah membangunkanmu. Kau akan berangkat bersama kami pagi ini kan?”

Aku menegakkan tubuh dan pelukan Will terlepas. Tanganku tak lagi mengepal dan tergeletak lemas di atas pahaku.

”Mmm, kupikir kalian bisa berangkat tanpaku pagi ini. Aku ada sedikit urusan. Sebelumnya maaf telah menolak tawaran kalian” aku menoleh ke arah Will.

”Yah...” Will tampak menyayangkan. ”padahal aku mengharapkanmu bersama kami pagi ini, karena sepulang sekolah kami akan pergi kemping. Kurasa kau sudah tahu itu”

”Aku minta maaf. Tapi... tapi...” Aku memeras otak untuk merasionalkan alasanku tidak ingin berangkat bersama mereka.

”Kau tak biasanya seperti ini, Alice. Ada apa sih?” sergah Cassandra. Aku melihat raut wajahnya mulai menunjukkan kecurigaan.

”Ah...” Aku mengangkat bahu. ”Tidak... tidak ada apa-apa. Aku benar-benar ada urusan. Urusan yang penting. Dengan temanku”

Ups!

”Tapi kau kan bisa berangkat bersama kami? Alice, sebelumnya kau tak pernah menolak berangkat bersama. Malah biasanya... Biasanya kau yang meminta kami untuk berangkat bersamamu. Kau jadi... kau jadi sedikit aneh pagi ini” Will berkata layaknya menginterogasiku. Tapi dia benar.

”Begini, aku punya rencana... bahwa... pagi ini aku akan pergi sebentar dengan temanku...” aku sedikit gugup.

”Pergi ke mana sih? Mungkin kami justru bisa mengantar”

”Kurasa... tidak bisa Sandra, tidak bisa”

”Masa kita harus memaksamu sih?” Will bangkit untuk berdiri.

”Tidak perlu, tidak perlu memaksa kok. Karena aku bisa berangkat sendiri” Aku berdiri. ”Trim’s”

”Ah, kau benar-benar keras kepala, Alice” erang Cassandra putus asa, ia menegakkan tubuhnya dan berdiri.

”Baiklah, sampai bertemu di meja makan...” Will meraih tangan Cassandra dan menggandengnya pergi.

Di ambang pintu kamar, Will melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya tanpa minat.

Aku kembali duduk dan melamun.

***

Aku melamun cukup lama. Meski aku tak tahu apa yang aku lamunkan, tapi itu membuatku cukup tenang. Dan sekarang aku ingin mandi.

Dinginnya air pagi ini begitu menusuk tulang-tulangku. Cukup lama—menurutku—aku berendam. Dan kini aku sudah cukup puas untuk itu. Aku meraih baju mandiku dan mengenakannya.

Handukku terjemur rapi di dekat tirai. Aku meraihnya dan membungkuskannya di kepalaku.

Aku menyibak tirai yang menutupi ruang bathtub dan menilik sebentar ke arah cermin. Aku berharap aku tidak shock. Bayanganku tetap tak tergambar di cermin. Aku berlagak tak ingin tahu dan meninggalkan kamar mandi.

Cahaya matahari pagi yang biasa membangunkanku selama ini menyusup masuk ke kamarku lewat ventilasi. Aku sadar seketika bahwa ini sudah pukul enam pagi. O-ow, berapa lama sih aku mandi?

Aku melangkah ke jendela dan membuka tirainya. Aku dapat melihat matahari mulai menyembul di sana. Jauh di depanku. Aku begitu senang memandanginya, benar-benar membuatku hangat.

Sekitar lima kemudian aku baru membalik badan dan menuju meja belajar. Aku mendapati buku-bukuku berserakan di sana. Entahlah, mungkin aku lupa membereskannya tadi malam.
Aku mengecek timetable dan memperhatikannya, setelah itu aku memilih beberapa buah buku, kutumpuk, dan kumasukkan asal-asalan ke dalam ransel.

Aku melempar ransel tersebut ke tempat tidur di belakangku dan pergi ke sudut ruangan untuk mengambil seragam dan mengganti baju mandiku.

Sudah beres sekarang. Mmmm... kurasa aku harus menyisir rambutku.

Meja rias berada tepat di samping kanan tempat tidurku—tidak tepat sih sebenarnya, karena ada meja lampu yang memisahkan keduanya. Aku duduk di kursi meja rias dan...

Oh my God! Sekarang aku bergidik ngeri melihatnya, baju seragamku...

Sekali lagi, aku tak menemukan diriku di cermin kecuali apapun yang kugunakan.

Sepertinya aku perlu menggunakan topeng, wig, sarung tangan, kaus kaki setinggi paha, dan syal agar tak ada yang takut melihat bayangan kosongku di cermin.

Aku mengambil sisir dan tidak memperdulikan cermin.
Aku selesai merapikan diri. Kubiarkan rambut sebahuku tergerai saja, tak usah kuapa-apakan. Sekarang aku bersiap untuk sarapan.

Kututup pintu kamar dan aku berjalan sepanjang koridor menuju tangga di depan kamar Cassandra yang letaknya di sebelah kanan kamarku. Di bawah, kesibukan baru saja dimulai.

”Selamat pagi, Alice” Nick melambaikan tangannya padaku, ranselnya sudah tergantung di salah satu lengannya.

Nick, pria tampan dari Senior High School paling ternama di London. Nama lengkapnya Nicholas. Tubuhnya tinggi semampai layaknya model. Rambut pirang emasnya selalu berkilauan ditimpa cahaya matahari. Tekstur wajahnya sempurna. Tak heran banyak teman sekolahku sangat suka bermain ke rumah. Alasannya hampir semua mengatakan ingin belajar. Namun alih-alih belajar, mereka hanya ingin melihat Nick dari dekat.
Aku balas melambai.

”Selamat pagi, Nick”

”Kata Will dan Cassandra, kau tak mau berangkat dengan kami ya? Memang ada urusan apa, Alice?”

Aku tersenyum, dan Nick rupanya mengerti apa maksudku.

“Lupakan” Nick melangkah pergi ke dapur sementara aku berhenti sebentar di tempatku berpijak.

Aku sampai di anak tangga terakhir ketika tiba-tiba Nick menawarkan sarapan dari balik dapur.

”Mom membuat sandwich dan sup. Kau mau yang mana?”

”Sup saja” ucapku sambil melangkah menuju meja makan di depan tangga.

”Oke” Nick berbalik dan kembali masuk ke dapur.

Aku duduk di kursi dengan mantap. Meja makan ini terbuat dari kayu rowan yang dipernis dan berukiran di setiap sisi hingga sudutnya.

Ada enam kursi yang mengelilingi meja makan. Cukup untuk semua anggota keluarga—tanpa pembantu ataupun supir, maksudku, mereka memiliki ruang makan tersendiri di samping ruang makan ini. Kursi-kursi ini berbantalan beludru dan dipernis pula.
Ukiran yang sama dengan ukiran meja makan diukir di bagian teratas dan kaki kursi.
Nick muncul dari arah dapur dengan satu mangkuk besar berisi sup dan setumpuk mangkuk kecil-kecil di tangan kanan dan kirinya. Aku sedikit mengernyit ketika menyadari sekarang ada suatu keanehan pada Nick. Aku memutuskan untuk tidak menindaklanjutinya. Tetapi aku merasa seperti ada yang mendesak jauh dari dalam jiwaku. Aku tak sanggup lagi untuk tidak bertanya.

”Apa itu di pundakmu, Nick?”

Nick sudah sampai di meja makan ketika dia aku selesai bertanya dan ia segera
memeriksa pundaknya. Ia melemparkan pandangan heran ke arahku sebelum menjawab.

“Tak ada apa-apa kok. Sudahlah, sarapan saja dulu”

Nick meletakkan makanan dan segera kembali ke dapur.

Aku berpikir sejenak, meski tak tahu apa yang sebenarnya kupikirkan. Aku memanggil
Nick ketika dia berada tepat di ambang dapur.

”Nick, aku berangkat duluan saja, kau bungkuskan saja sarapanku, nanti kumakan di sekolah. Aku buru-buru”

Nick sedikit terkejut, tetapi langsung patuh. Sebelumnya, ia mengkonfirmasikan sesuatu.

”Sandwich atau sup?”

”Kau pikir aku ingin tasku ketumpahan kuah sup?”

”Baiklah” Nick beranjak ke dapur.

Aku berpikir lagi sambil menunggu Nick selesai membungkuskan sarapanku dan sampai di meja makan.

”Lama sekali” gerutuku ketika Nick sampai di meja makan dan menyerahkan sebuah kotak makanan kepadaku. Kasihan juga Nick, harus bolak-balik ke dapur.

”Maaf Alice, tadi Mom bertanya macam-macam tentang kau”
Aku tak menanggapi dan langsung memasukkan kotak sarapanku ke dalam ransel.

”Mau langsung pergi?” Nick memandangiku heran.

Aku tak perlu menjawab dengan kata-kata. Aku hanya mengangguk dan kurasa Nick pasti
tahu apa artinya. Aku tak mau membuang-buang waktu sehingga aku langsung pergi.

”Sampai bertemu tiga hari lagi, Alice!” teriak Nick dari meja makan. Aku menjawabnya dengan hanya melambai ke arahnya tanpa menolehkan kepala.

Udara luar sangat hangat dan itu membuatku sedikit nyaman. Aku mengambil sepeda merahku di garasi di samping kiri rumah dan mengendarainya.

Sepanjang jalan, aku melihat semua orang memiliki sesuatu di pundaknya seperti yang Nick punya. Aku bandingkan dengan punyaku.

Aku punya. Ada makhluk itu di pundakku. Tapi punyaku tidak bersalto dan menari-nari seperti punya mereka. Punyaku diam tak berkutik dan kaku. Punya mereka bewarna-warni, sementara punyaku pucat dan kelabu. Aku tak mengerti. Aku merasa seperti menjadi spesies lain.

Aku mengayuh sepedaku lebih cepat dan tak lama aku sudah sampai di halaman parkir Blackheath High School.

Aku tak peduli atas apa yang terjadi pagi ini di sekolah. Aku hanya ingin menemui Damara.

Tahun ini adalah tahun terakhirku di Junior High School apabila aku bisa menuntaskan ujian kelulusan nanti. Dan jika aku diijinkan bertekad untuk merencanakan sesuatu, sekarang aku hanya ingin menjauh dari banyak manusia. Aku bukan manusia.

Mungkin memang tidak bisa sekarang, tetapi aku cukup kuat untuk menunggu setengah tahun lagi.

Damara sedang mengecek jadwal barunya di meja operator. Aku ingin menghampirinya, tetapi kau tahu, operator sekolahku ini selalu menaruh cermin di sekitarnya. Aku tak ingin identitasku sebenarnya terbongkar.

Aku menunggu.

Damara berterimakasih dan beranjak pergi. Aku mengikutinya dan mempercepat langkah ketika aku sudah tak terjangkau lagi oleh cermin di samping meja operator.
Aku menghentikan langkah ketika jarakku dengan Damara tidak lebih dari dua meter.

”Damara!” panggilku dengan suara tertekan.

Damara menoleh dengan kening berkerut.

”Alice!” Damara membalik badan dan berjalan ke arahku. ”Suaramu mengerikan sekali. Kau tadi memekik, kau tahu. Hey, kau pucat sekali... Alice...”

Aku tak perlu merespon pernyataan maupun pertanyaan Damara barusan yang menjurus ke arahku. Aku segera meraih dan menarik tangannya.

Damara sedikit gelagapan menanggapi kelakuanku pagi ini. Ia melepaskan tanganku.
”Owh! Alice, tanganmu dingin sekali. Kau baik-baik saja kan?”

”Sudahlah, ikut aku!” tukasku agak marah. Aku kembali meraih tangannya dan menariknya hingga kami sampai di kafetaria.

Di sana aku menuturkan semuanya yang terjadi padaku pagi ini.

”Kau serius?” Damara terperangah mendengar semua penuturanku. Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku.

”Apa aku terlihat bercanda?” aku kesal.

”Oke. Ada teori yang mengatakan bahwa cermin tak dapat menampilkan sesuatu yang
tidak berjiwa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa...” kata-katanya terputus.

”Aku tak memiliki jiwaku lagi. Tapi apa maksudnya?” sambungku.

”Sedikit membingungkan memang...” Damara berdecak bingung. ”Tapi ayolah, itu hanya teori kan? Dan apakah kau benar-benar yakin kau tidak berhalusinasi?” Damara mengubah posisi duduknya menjadi bersandar pada punggung kursi.

”Kau ingin bukti?” suaraku meninggi. Air mukaku berubah seram.
Damara mengalihkan pandangan. ”Tak perlu. Aku percaya kok” Ia mengangguk-angguk dan membolak-balik buku menu, tak berani menatap mataku yang memelototinya tajam.

”Tapi kau seperti tak percaya” aku kehilangan minat. ”Damara, aku butuh bantuanmu”
Damara mendongak.

Aku menggigit bibir. ”Damara, tentang teori itu. Bukankah cermin dapat memantulkan benda-benda seperti kursi dan sebagainya? Dengan itu berarti mereka memiliki jiwa?”
Ini konyol.

Damara tampak sedang berpikir.
”Tolong jelaskan apa maksudnya jiwa” desakku. Damara tetap bergeming. Aku berharap-harap cemas.

Namun akhirnya, Damara menggeleng. Aku patah semangat.

”Maaf Alice, tapi aku belum pernah tahu apa tepatnya jiwa itu” nada suaranya menggambarkan penyesalan.

Aku mengenyahkan. Melipat tanganku di atas meja dan menundukkan kepala.

”Alice, kau baik-baik saja?” tanya Damara dengan nada khawatir. Tangan lentiknya menyentuh bahuku.

Aku mengangkat kepala. Tersenyum simpul.

”Kelas pertamamu apa?”

”Entahlah, aku ingin bolos saja hari ini” aku kembali menundukkan kepalaku yang
terasa berat sekali pagi ini.

”Kalau kau merasa tidak enak badan...” Damara merengkuh wajahku. ”Ketahuilah, wajahmu pucat, Alice”

Aku menggigit bibir. ”Aku tak apa, Damara. Hanya saja aku... Aku ingin jauh-jauh dari kalian sekarang ini”

Damara terkesiap tak mengerti. ”Apa maksudmu?”

”Entahlah, Damara. Aku sedang tidak beres”

Aku menggeleng-gelengkan kepala. Merasa sangat tertekan dengan fenomena yang kujalani saat ini.

Damara membimbingku berdiri dan menuntunku berjalan meninggalkan kafetaria.

Kafetaria sudah jauh di belakang kami, sekarang digantikan oleh halaman parkir yang mulai hiruk pikuk.

”Alice, kau kuantar pulang ya?” Damara memegangi bahuku.
Aku menggelengkan kepala. Damara terdiam, berusaha memahamiku. Aku pun berusaha memahami diriku yang mulai plin-plan.

Aku dan Damara berjalan beriringan menuju pintu gerbang dan terus berjalan hingga sampai di ruang depan sekolah.

Vesta baru sampai dan sekarang ia tampak berjalan terburu-buru dari pintu gerbang ke arahku.

“Alice!” ia cukup mengagetkanku.

Aku menoleh. Tersenyum.

“Hampir saja terlambat” Vesta sampai tepat di depan kami. Napasnya tersengal-sengal.
“Jam pertama kita kelas Fisika kan?”

Aku maupun Damara tak menanggapi.

”Alice, kau pucat sekali” Vesta bersimpati. Dia ikut berjalan beriringan bersamaku dan Damara menuju kelas Fisika.

”Aku tak apa, Vest” tanggapku sambil lalu.

Sejurus kemudian, kelas Fisika sudah melingkupiku, Damara, Vesta, dan beberapa teman lain.

Kelas Fisika merupakan kelas paling menyeramkan bagiku. Di sini gelap, kontras sekali dengan suasana pembelajaran Fisika yang seharusnya.

Di pojok kanan depan tersisa satu bangku yang masih kosong. Aku dan Damara beranjak ke sana, sementara Vesta duduk di belakang kami.

Mrs. Prefy baru masuk kelas lima menit kemudian. Setelah membuka pelajaran, dia langsung menagih PR. Aku cukup lega PR-ku sudah kukerjakan sejak lama. Kalau tidak, Mrs. Prefy pasti akan menyuruh membuat soal pilihan ganda sebanyak lima puluh butir tentang pengembangan dari materi yang di-PR-kan. Itu jauh lebih sulit dibanding mengerjakan essai lima lembar penuh.

Mrs. Prefy mengajarkan Electricity hari ini. Materi ini benar-benar membingungkan untuk dipahami dengan kondisiku yang kurang beres seperti ini. Aku rupanya perlu meminjam catatan dan berguru pada Damara.

Di akhir pelajaran, Mrs. Prefy meminta kami semua untuk mengumpulkan buku catatan. Aku terhenyak dan tak mengerti harus berbuat apa. Aku tak memperhatikan bahkan menuliskan penjelasan sekalipun saat pelajaran berlangsung. Aku tertidur rupanya.

“Alice! Alice!” Damara menggoyang-goyangkan tubuhku ketika aku sudah mendengar perintah Mrs. Prefy dan aku hanya melongo putus asa. “Alice, aku sudah mencatatkan untukmu. Nih!”

Damara menyerahkan buku tulisku dan hanya ingin menunjukkan catatan rapinya yang dimanipulasi sebagai catatanku. Aku lega dan dengan segera merasa tidak enak hati.

“Trim’s” aku menundukkan kepala melihat buku tulisku yang tadi Damara ambil sewaktu aku mulai tertidur. Untunglah saat itu Mrs. Prefy sama sekali tidak memperhatikan aku.

”Aku tak enak hati, Damara” desahku.

”Tak apa Alice” sergahnya tulus. ”Kita ke klinik saja ya?”

”Mm” jawabku singkat menandakan ya.

”Oke,” Damara menimpali.

Vesta sudah duluan tadi. Damara meminta waktu sebentar untuk berbicara denganku dan menyuruh Vesta duluan saja. Aku hanya diam sambil memainkan jemariku selama berjalan beriringan dengan Damara menuju kantor guru untuk mengumpulkan catatan murid-murid.
Setelah itu, kami menuju klinik.

Klinik berada tidak jauh dari kelas Laboratorium Bahasa Inggris. Jadi setelah mengantarku dan menemaniku sebentar di klinik, Damara langsung menuju kelas Bahasa Inggris di laboratorium dan berjanji akan lebih cepat keluar sehingga bisa menemaniku. Aku cukup senang walaupun sebenarnya aku lebih ingin sendiri.

Ketika Damara sudah pergi, aku hanya termenung dan tak mau tidur. Bukan tak mau sebenarnya, melainkan aku tak bisa tidur. Padahal sewaktu kelas Fisika tadi aku merasa mengantuk sekali.

Pikiranku melantur ke mana-mana. Aku menyandarkan diri sambil memeluk ranselku dan mencoba bernostalgia untuk membangkitkan minatku. Aku mengenang masa kanak-kanakku yang sudah kehilangan keluargaku dan diasuh oleh Paman Bennet dan Bibi Dané yang selama ini kuanggap sebagai orangtuaku. Aku disambut baik waktu itu, meski aku tak tahu persisnya karena aku masih kana-kanak berumur dua tahun waktu itu. Kata Paman dan Bibi, aku ditemukan seseorang di tengah hutan sementara kedua orangtuaku sudah tak bernyawa diserang makhluk hutan dan orang yang menemukanku tersebut berusaha mencari keluargaku yang lain.

Will, Cassandra, dan Nick adalah sahabat dan sepupuku yang sangat baik. Mereka menjelma menjadi kakak-kakakku selama ini. Dan aku selalu merasa hidupku bergitu sempurna.

Tetapi sekarang semua itu berubah. Aku hampa. Aku terkoyak. Hari ini begitu memilukan bagiku. Aku merasa aku bukan lagi seorang manusia.

Seseorang menyibak tirai dan mengomentariku yang sedang melamun.

”Kau malah ngalamun.”

Aku terlonjak kaget.

”Oh,” aku mendesah.

Damara beranjak duduk di sisi tempat tidurku.

”Alice, Ms. Stevie memberi tugas. Tapi tenanglah, kalau kau merasa belum baikan, kau
bisa mengerjakannya kapan-kapan. Tugasnya dikumpulkan minggu depan. Kutuliskan kok detailnya,”

Aku tersenyum, ”Trim’s”.

”Oh, Alice. Kau tak bergairah sekali. Kita makan yuk,” ajaknya.

Aku bangkit dan mencari sepatuku.

Setelah menemukan sepatuku, aku memakainya dan Damara menggandengku ke kafetaria.

Di kafetaria, hiruk pikuk anak-anak yang sedang istirahat memenuhi seluruh sudut ruangan. Aku duduk dan Damara memesankan makanan dan minuman.

Damara duduk dan mengajakku mengobrol.

”Hey Alice, kau ingat Zach?” dia melipat tangannya di atas meja dan mencondongkan tubuhnya ke arahku.

Aku mencoba mengingat-ingat, ”Umm, sepertinya... Oh ya! Aku tahu, ya, aku ingat. Dia masih menjalani kelas akselerasinya?” semangatku timbul seketika. Kau tahu, Zach itu lelaki yang tampan dan sangat jenius. Aku bahkan pernah naksir padanya.

“Jelas saja kau ingat!” dengus Damara. “Dia bahkan sudah lulus SMP”

“Sekarang dia di SMA mana?” tandasku.

“Preston Manor High School, kurasa.”

“Wow! Aku akan ke sana ah!”

Damara mengernyit dan meledekku, ”Oh, Alice tergila-gila Zach rupanya,”

Aku tersenyum manja dan mencubit pinggang Damara.

”Hey, Alice Zach’s Holic” Damara terkekeh.

Pelayan datang membawakan pesanan Damara. Aku dipesankan pizza dan Damara sendiri memesan hot dog untuk dirinya.

Aku jadi teringat sesuatu. Oh ya! Nick membekaliku sandwich tadi pagi. Aku belum menyentuhnya sama sekali.

”Kenapa sih?” Damara menggigit gigitan pertamanya.

”Nick membekaliku sandwich tadi pagi, dan itu belum kumakan. Jadi, kau mau tidak memakan pizzaku?”

Damara berhenti mengunyah dan menimbang-nimbang sebentar.

”Kau biasanya sangat suka makan, Alice.”

Itu benar, tetapi sekarang beda. Perbedaan signifikan yang terjadi dalam hidupku kali ini membuatku sedikit melenceng dari kebiasaan. ”Ya sih, hanya saja hari ini aku lupa tidak makan suplemen penambah nafsu makanku,” dustaku.

Damara mengangguk-angguk mengerti. ”Baiklah, tapi aku tak mau meminum softdrinkmu. Aku bisa kembung.”

Senyumku mengembang.

Aku mengambil kotak makananku dan memakan isinya. Sandwich itu enak sekali. Bibi
Dané benar-benar jago memasak.

Ketika jam istirahat berakhir, aku dan Damara sudah siap di kelas Biologi. Hari ini mulai terasa menyenangkan.

”Nah begitu dong. Kau tampak lebih segar, Alice,” sapa Vesta ketika di melewati mejaku.

”Trim’s Vest. Kurasa aku hanya kelaparan tadi. Aku belum sarapan sih,” timpalku.

Vesta tersenyum dan memilih tempat duduk di belakangku.

Aku memperhatikan sepanjang pelajaran, dan aku sangat antusias kali ini. Catatanku tak ada yang terlewat. Aku senang.

Pelajaran Biologi terasa lebih cepat berakhir, begitupula dengan pelajaran-pelajaran lainnya. Sekarang aku siap untuk pulang.

Damara menawarkan diri untuk pulang bersamaku. Aku sedikit ragu akan menerima tawaran itu atau tidak. Tapi aku tak ingin membuat Damara kecewa. Ingat, aku berutang budi padanya.

”Baiklah,” jawabku menerima.

Aku dan Damara mengambil sepeda kami masing-masing. Kami bersepeda bersama sepanjang
jalan Wemyss Road dan belok kiri hingga sampai di Paragon Pt. Aku melambaikan tangan kepada Damara ketika kami sampai di perempatan dan Damara berbelok ke kanan sementara aku melanjutkan mengayuh hingga sampai di S Row.

Seseorang mencegatku. Aku nyaris menabraknya. Aku mengerem mendadak.

”Hi Alice,” sapanya.

Aku terhenyak. Dia mengenaliku.

Aku tidak turun dari sepedaku. ”Hi, maaf aku tak mengenalimu. Kau siapa?”

Dia melangkah ke samping sepedaku. Kini dia berada di sebelah kananku. Pandanganku mengikutinya.

Dia mengulurkan tangannya. ”Kenalkan, aku Lerian Plympton. Panggil saja Lery,” suaranya yang teduh menyeruak masuk ke telingaku. Aku menikmatinya.

”Alicia, Alicia Sheldon.” Aku meraih tangannya dan kami bersalaman. Tangannya benar-benar sedingin es. Persis sepertiku.

”Aku mengerti apa kau ini. Aku ingin kau ikut denganku,” ujarnya setengah berbisik.

Aku mengernyit, bingung. Apa maksudnya ia tahu apa aku ini?

”Maaf, bisa kau jelaskan apa maksudnya?” aku menelengkan kepala dan mengamati wajahnya dengan seksama. Ia pucat sama sepertiku. Dan yang membuatku yakin aku memiliki hubungan kekerabatan dengannya adalah imp-nya sama kelabu dan pasifnya dengan imp-ku.

”Tak bisa dijelaskan di sini Alicia—Oh, kupanggil kau Alice saja ya?”
Aku mengangguk.

”Alice, ini sangat berbahaya. Kau harus ikut denganku,” desaknya. Wajah cantiknya memohon.

Aku menimbang-nimbang. Aku perlu pulang untuk tidak membuat khawatir Paman dan Bibi.

”Kurasa tak bisa sekarang juga.”

Dia tampak kecewa.

Aku sedikit waspada terhadapnya. Mungkin kecantikan wajahnya bisa saja menipuku. Dia bisa jadi tidaklah bermaksud baik padaku. Tetapi feelingku tidak berkata demikian. Aku selalu mengandalkan feeling dalam berpikir. Dan feelingku tak pernah salah. Jadi, aku putuskan untuk percaya kepadanya. Lagipula, sepertinya dia bukan penculik, kok.

”Tapi aku bisa setelah aku pulang dan berpamitan,”

Dia tersenyum lega. Aku menyukai senyumannya.

Lerian mengambil sesuatu dari saku jaketnya dan menuliskan sebuah alamat. ”Datanglah kemari jika kau sudah berpamitan,” ia menyodorkan secarik kertas kepadaku.
Aku pandangi sebentar. Pond Close. Aku tahu daerah itu. Tidak begitu jauh kok.

“Baiklah,” aku menengadahkan kepalaku.

Lery tersenyum lagi.

Aku mengayuh sepedaku dan melambai sebentar ke arahnya. Dia membalasnya.

Sesampai di rumah, aku segera mencari Bibi dan mengecup kedua pipinya. Kemudian aku menaruh kotak makananku dan mencucinya.

“Alice, kau mau makan dulu atau tidak?” tanya Bibi ketika aku menghambur menaiki anak-anak tangga dua sekaligus menuju kamarku.
Aku mengentikan langkah dan menolehkan pandangan. ”Kurasa aku ingin bermain dulu sebentar, Auntie. Setelah itu aku akan pulang dan makan. Jangan khawatirkan aku,”

Senyum Bibi mengembang. “Baiklah, Alice. Hanya, berhati-hatilah,”

Aku membalas senyumnya dan segera menaiki anak-anak tangga yang tersisa hingga sampai di depan kamarku.

Pintu kamarku sengaja tak kukunci tadi pagi sehingga aku langsung membuka kenopnya. Aroma kamarku yang selalu aku rindukan setiap pulang sekolah menyeruak masuk ke dalam hidungku. Aku masuk dan menutup pintu.

Meja belajar sudah menanti ranselku. Aku menujunya dan meletakkan ranselku. Setelah itu untuk tidak mengulur-ulur waktu, aku segera berganti pakaian tanpa melihat ke cermin. Aku ke kamar mandi sebentar, kemudian langsung mengambil jepet beserta secarik kertas yang diberikan Lery dan meninggalkan rumah.

Kukayuh sepeda merahku sesantai mungkin. Aku mulai memasuki wilayah Pond Close dan menemukan rumah yang dimaksud.

Rumah tersebut sangat jauh berbeda seperti bayanganku semenjak kuterima alamat itu.
Rumah itu begitu besar di gang sekecil ini. Rumah tersebut bergaya klasikal dan artistik. Sangat indah dengan banyak sekali taman bunga marigold dan beberapa pohon maple. Aku sempat terhenyak sesaat begitu melihat bahwa rumah tersebut sangat jauh lebih besar dibandingkan rumah Paman Bennet.

Rumah tersebut bertingkat lima dan memiliki menara yang menjulang tinggi menembus langit. Pintu gerbangnya yang anggun menanti untuk kubuka.

Aku memarkir sepeda merahku di samping beberapa buah sepeda lain di halaman dekat teras. Tangga marmer di depanku menuntunku ke pintu utama yang sungguh luar biasa.
Lerian menyambutku.

“Hai Lery,” sapaku, menyalaminya.

”Alice, akhirnya kau datang. Ayolah, jangan sungkan, kami sudah menantimu,”
Menanti? Aku dinantikan?

Lery menuntunku memasuki rumah. Isi rumah ini benar-benar jauh lebih menakjubkan lagi.

Jauh lurus di depanku, ada tangga pualam yang menuju ke lantai kedua. Sementara di samping kananku, tampaknya itu merupakan ruang tamu dengan satu set sofa elegan beserta mejanya. Dinding-dinding putihnya menggambarkan keteduhan dan aura tersendiri yang menarik perhatianku. Berbagai lukisan—yang aku tak mengerti lukisan apa itu—menggantung di sepanjang bagian atas dinding.

Di sebelah kiriku ada sekitar lima orang yang sedang duduk-duduk maupun berdiri menyandar sambil menyibukkan diri. Lerian mengumumkan kedatanganku dan mereka langsung menengadah.

”Teman-teman, ini Alice. Lengkapnya Alicia Sheldon.”

Aku tersenyum. Mereka membalas senyumku. Rupanya mereka benar-benar menyambutku.
Seseorang melangkah maju ke arahku. Ia membuka lengannya dan memelukku. ”Selamat datang dalam markas besar kami. Menurut Lerian, kau termasuk dalam jenis kami. Dan Lerian sudah menceritakan semuanya tentang dirimu.”

Jenis? Apa maksudnya? Dan, semua tentang diriku? Apakah aku pernah bercerita kepada Lerian tentang diriku? Bertemu saja belum lama.

”Trim’s” aku setengah berbisik. ”Tetapi apa maksudnya jenis kalian? Kita ini sama-sama manusia kan?—Oh, please, aku tak mengerti. Dan...”

Dia melepaskan pelukannya.

”Hei, aku Sara, cewek vampir termuda di sini,” ia mengulurkan tangan.
Aku tergelak. Vampir? Tidak salah? Vampir itu kan... Oh tidak! Tidak mungkin! Berarti aku salah satu dari mereka. Aku... vampir.

Kedua alisku bertaut. ”Vampir?”

”Ayolah Alice, jangan terkejut. Kau vampir. Kami bisa mengenali jenis kami sendiri,” kali ini Lery yang berbicara.

Hh! Aku mengerti sekarang. Semua keanehan itu. Ternyata menunjukkan tanda-tanda perubahan terhadap diriku. Dan benar, aku bukan lagi seorang manusia. Tetapi, kenapa mereka seperti tenang-tenang saja menghadapi diri mereka sebagai vampir?

”Oke,” Sara membalik tubuhnya. ”Dengar Alice, kami para vampir, memiliki nama sekunder dari nama manusia kami atau nama primer. Tetapi bagi kami vampir yang sejak lahir berjenis vampir, maka kami akan memanipulasi nama kami terhadap nama asli kami jika kami berkeliaran di daerah manusia. Karena nama kami, memiliki aura dan bisa membongkar identitas kami,” jelasnya panjang lebar.

”Alice, aku, Sara Delacour adalah Calpurnia Byron. Aku bukan vampir legenda, melainkan vampir transforman. Dan dia, yang paling kiri dan sedang duduk itu Quincey Frankenstien...”

Quin melambaikan tangannya kepadaku dan tersenyum, aku pun membalasnya. Dia duduk bersandar mulanya, kemudian menegakkan tubuhnya ketika Sara memperkenalkannya. Tubuh Quin gempal dan berotot. Garis-garis wajahnya menyembunyikan kegarangan yang nyata, namun tetap bersahabat. Rambutnya bermodel cepak seperti tentara. Dia mengenakan kaus biru dan jins yang bewarna lebih tua.

Kemudian Sara melanjutkan penjelasan. Setelah Quin, beberapa meter darinya sedikit menyerong ada sepasang vampir yang—menurutku—mereka itu suami-istri.
”... dan dia, yang sedang berdiri berduaan, Angelica Crow dan Matthew Dracul...”
Mereka melambai dan tersenyum sambil tetap bersandar. Angelica sangat cantik dengan rambut bob membingkai raut wajahnya yang sempurna. Kulitnya yang putih dan tidak begitu pucat sangat cocok dengan pakaian ungu lavendernya. Matanya yang jernih dan berselaput menyapaku hangat. Sementara Matthew, dia terlihat lebih anggun dibandingkan Quin. Matthew memiliki tubuh yang benar-benar ideal dengan potongan rambut seperti yang dimiliki Will dan bewarna perunggu. Indah. Begitulah kira-kira.
”...dan yang di sana, yang sedang duduk bertopang dagu, Azazel Azariel”
Aku terhenyak. Azazel—begitulah namanya—adalah vampir yang sungguh tampan. Tekstur wajahnya yang sesempurna Nick dan cahaya yang berkilauan dari wajahnya yang sepucat salju membuatku luluh. Dia sungguh tampan.

Azazel duduk bertopang dagu di meja telepon di samping Matthew sambil menyandarkan punggungnya pada kursi mahoni. Kemudian ia tersenyum ketika aku memandanginya takjub. Gigi-giginya putih berkilau.
Aku lagi-lagi terhenyak menyadari bahwa dia sama sekali tak terlihat seperti vampir dengan gigi-giginya yang kecil-kecil seperti itu. Aku bahkan tak percaya bahwa dia vampir.

”Alice, kami semua, kecuali aku dan Lery, adalah vampir legenda. Sementara vampir transforman yang juga tinggal di sini sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing di luar rumah. Mereka sedang menjalankan tugas.”

Aku tak ingin menanyakan tugas apa yang mereka lakukan. Aku hanya ingin bertanya apakah Azazel benar-benar vampir. Melihatnya sebagai vampir transforman pun aku tak percaya apalagi melihatnya sebagai vampir legenda.

Mata Azazel berkilat saat dia menatapku lekat-lekat. Dia beranjak berdiri dan melenggang ke arahku.

Dia mengulurkan tangan. ”Hai Alice,” suaranya bergema lembut dalam gendang telingaku.
Aku benar-benar gugup. Kubalas uluran tangannya.

”Selamat datang, ya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar